Pemilih Cerdas dalam Demokrasi
Liberal
PERHELATAN Demokrasi dalam
rangka memilih para wakil rakyat akan digelar pada April 2014 mendatang. Para
kandidat telah memamerkan jurus-jurus jitu guna menarik simpati konstituen.
Masing-masing dari mereka akan memperebutkan, berjuang jadi pemenang,
sekurang-kurangnya meraih suara terbanyak dalam pemilu. Karenanya, pelbagai
cara akan dikerahkan habis-habisan. Realitas ini merupakan bagian penting dari
demokrasi liberal yang perlu dikawal oleh pemilih cerdas.
Demokrasi Liberal
Dalam kamus politik dikenal
istilah demokrasi liberal. Bagi banyak ilmuwan politik demokrasi liberal
memiliki dua ciri penting yakni kebebasan individu dan the rule of law. Tiap
orang memiliki kebebasan dalam demokrasi liberal. Kebebasan itu adalah
kebebasan mengekspresikan hak-hak politik sebagai zoon politicon. Bahkan,
kebebasan itu mendapat legitimasi the rule of law. Hukum menjadi panglima
tertinggi dalam perspektif liberal karena mampu `mengamankan' kepentingan
politik individu.
Kompetisi juga menjadi ciri
pendukung demokrasi liberal. Logika kompetisi mengandalkan pertarungan di mana
para kontestan saling mengeksklusi. Di dalam sebuah pertarungan, yang kuat akan
menang, dan yang lemah bakal kalah. Para petarung berjuang `berdarah-darah'
bukan hanya menggenjot simpati konstituen melainkan juga `menyikut' sesama
kontestan.
Ajang kompetisi makin memanas
tatkala didukung pencitraan politik dan politik uang (money politics). Maraknya
teknologi digital telah memudahkan orang untuk melakukan pencitraan politik.
Yang lebih parah lagi yakni politik citra ini mendapat gemanya lantaran
didukung pula politik uang pada momen pamungkas, yang kerap kita sebut
`serangan fajar'. Ini semua adalah strategi politik yang dibuat demi satu
tujuan: memenangkan pertarungan.
Prinsip demokrasi liberal
tersebut menyisahkan dua resiko. Pertama, ia memberikan peluang yang sama
kepada semua orang, entah yang berbeda aliran politik, keberpihakan, maupun
sepak terjang di masa lalu. Seorang yang disangka koruptor, misalnya, atau yang
punya catatan kelam terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pun memiliki
hak dan peluang yang sama untuk bertarung menjadi `pemenang' dalam demokrasi
liberal. Tanpa malu-malu, pihak yang terlibat dalam dua persoalan tersebut,
masih mencalonkan diri dalam perhelatan pemilu. Kedua, kompetisi yang berlebihan
diantara para kontestan legislatif justeru mengabaikan etika politik yang
menjadi basis berpolitik. Aksi `sikut-menyikut', senggol-menyenggol, dan saling
sandera adalah deretan kisah yang kerap menghiasi jagad politik di tanah air.
Secara gamblang hal itu menandakan rapuhnya basis etika pada diri para elit
politik. Inilah potret dan logika demokrasi liberal yang jika tidak didukung
mentalitas pemilih cerdas dapat merusakan alam demokrasi kita.
Realitas demokrasi liberal
sesungguhnya sedang menghiasi kancah perpolitikan kita. Sejak reformasi 1998
bergulir, kebebasan tiap warga negara seakan mendapat tempat yang tampan.
Persis setelah keran kebebasan dibuka pasca tumbangnya rezim Orde Baru, banyak
orang `ramai-ramai' mencalonkan diri menjadi pemimpin entah pada tataran
eksekutif maupun legislatif. Atas nama kebebasan dan hak-hak politik individu,
pencalonan anggota legislatif marak terjadi. Meski dari deretan nama calon
legislatif itu jarang sekali kita temukan sosok yang sungguh berpihak pada
kepentingan kesejahteraan bersama, pencalonan itu sahih dalam ranah demokrasi
liberal.
Butuh Pemilih Cerdas
Menyikapi maraknya pencalonan
anggota legislatif, kita butuh adanya pemilih cerdas. Pemilih cerdas adalah
seseorang yang menentukan pilihan politik setelah melewati tahap-tahap
pertimbangan rasional. Dibutuhkan pemilih cerdas karena masa depan demokrasi
ditentukan pula oleh orang-orang yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Salah
menentukan opsi politik pada pemilu berdampak pada, meminjam term ilmuwan politik
Denmark, George Sorensen, "demokrasi beku" (frozen democracy).
Karena itu, tiga hal penting
perlu dimiliki tiap warga dalam menentukan pilihan politik. Pertama, bersikap
kritis terhadap para kontestan legislatif. Sikap kritis yang dimaksud adalah
kecerdasan dan kejelihan warga pemilih dalam melihat sepak terjang tiap
kandidat. Rupa-rupa wajah para kontestan boleh jadi membingungkan warga untuk
memilih. Dalam situasi demikian, melacak jejak-jejak masa lalu tiap calon
merupakan sebuah keniscayaan. Sikap, perjuangan dan keberpihakan politik
seseorang turut ditentukan juga oleh sejauhmana sepak-terjang masa lalu.
Pemilih cerdas perlu mencermati secara kritis kiprah para kontestan sebelum
benar-benar menentukan pilihan.
Kedua, pemilih cerdas mesti
menghindari politik uang. Jual-beli suara rentan terjadi pada massa mengambang
(floating mass). Bukan hal baru jika menjelang pemilu, aksi `serangan fajar',
yakni bagi-bagi uang gemar dipertontonkan para elit politik picik. Para
politisi berupaya membeli suara warga guna mendongkrak jumlah perolehan suara.
Pola pendekatan ini perlu diwaspadai tiap pemilih cerdas. Sebab, selain suara
tak bisa dibeli, membeli suara juga membuka peluang bagi para anggota
legislatif untuk melakukan praktek korupsi ketika mereka menduduki jabatan
legislatif. Politik uang bukanlah sebuah strategi politik yang baik. Ia malah
makin menggerogoti sendi-sendi demokrasi kita. Karena itu pemilih cerdas harus
bersikap kritis terhadap praktek politik jual-beli suara.
Ketiga, pemilih cerdas perlu
menjauhi paradigma politik kesukuan atau kekerabatan. Ketika ikatan kesukuan
atau kekerabatan dikedepankan dalam pemilu, maka pemilu akan menghasilkan para
legislatif yang mewakili kepentingan suku. Padahal dalam alam demokrasi
substansial kepentingan rakyat berada di atas kepentingan suku dan
golongan.
Tiga hal tersebut perlu disikapi
secara serius jika kita ingin memiliki demokrasi yang berkualitas. Kecolongan
demokrasi liberal sedikit terbantu jika masyarakat kita menjadi pemilih cerdas
dalam pemilu legislatif pada April 2014 mendatang.